Jumat, 20 Februari 2009

materi geografi ekonomi :Optimalisasi Pemanfaatan SDA, Mengapa Harus Pembangunan Berwawasan Lingkungan?


Disalin Oleh : Singgih Prihadi

Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
Belum hilang rasanya duka akibat bencana alam banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Surakarta dan sekitarnya hingga Gresik Jawa Timur, kembali banjir menerpa semesta alam Ngawi. Madiun, Tuban Jawa Timur. Banyak pengangkut kebutuhan pokok harus terhenti akibat jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Hal ini tentunya semakin menambah kerugian baik materiil maupun immaterial. Pendek kata, berulangnya bencana alam ini menunjukkan alam ini sudah rusak.
Setidaknya ada dua hal yang ditengarai menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, yaitu laju pertumbuhan penduduk yang relatif cepat dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan tehnologi. Pertumbuhan penduduk yang relatif cepat berimplikasi pada ketersediaan lahan yang cukup untuk menopang tuntutan kesejahteraan hidup. Sementara lahan yang tersedia bersifat tetap dan tidak bisa bertambah sehingga menambah beban lingkungan hidup. Daya dukung alam ternyata semakin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Atas dasar inilah, eksploitasi sistematis terhadap lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan berbagai cara dan dalih.
Jumlah manusia yang memerlukan tanah, air dan udara di bumi ini untuk hidup pada tahun 1991 sudah berjumlah 5,2 miliar. Jumlah manusia penghuni planet bumi pada tahun 1998 berjumlah 6,8 miliar. Pada tahun 2000 membengkak menjadi 7 miliar. Kalau pertumbuhan penduduk tetap dipertahankan seperti sekarang, menurut Paul R. Ehrlich, 900 tahun lagi (tahun 2900) akan ada satu biliun (delapan belas nol di belakang 1) orang di atas planet bumi ini atau 1700 orang permeter persegi. Kalau jumlah ini diteruskan sampai 2000 atau 3000 tahun kemudian, berat jumlah orang yang ada sudah melebihi berat bumi itu sendiri.
Sementara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebenarnya diharapkan dapat memberi kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia ternyata juga harus dibayar amat mahal, oleh karena dampaknya yang negatif terhadap kelestarian lingkungan. Pertumbuhan industri, sebagai hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan tehnologi dibanyak negara maju terbukti telah membuat erosi tanah dan pencemaran limbah pada tanah pertanian yang menyebabkan terjadinya proses penggaraman (solinizasi) atau penggurunan (desertifikasi) pada lahan produktif.
Menurut Clarence J Glicken, penguasaan alam melalui ilmu pengetahuan lebih banyak bersumber pada falsafah modern yang dikemukakan oleh Frances Bacon, Descartes dan Leibnitz. Bacon mengemukakan dalam karyanya the New Atlantic bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan secara aktif dan menganjurkan penemuan baru untuk merubah dan menguasai alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Descartes dalam the Discourse of Method berpendapat bahwa pengetahuan adalah kunci keberhasilan atau kemajuan manusia. Manusia perlu mengetahui tentang api, air, tanah, angkasa luar agar dapat menjadi tua dan pengatur alam. Begitu pula Leibnitz, pada permulaan abad ke-19 Masehi pandangan tersebut di atas mulai mendapat kritik dan tantangan. Pada akhir abad ke-19 masehi banyak sekali padangan lain yang dikemukakan. Ini dapat dibaca dalam buku Charles Darwin, The Origin of the Species (1859), buku George Perkin Marsh “Man and Nature” (1864), buku Charles Dickens “Hard Times” (1854).
Maka, proses perencanaan dan pengambilan kebijakan oleh lembaga-lembaga negara yang berkenaan dengan persoalan teknologi dan lingkungan hidup menuntut adanya pemahaman yang komprehensif dari aktor pengambil kebijakan mengenai masalah terkait. Pemahaman ini berangkat dari pengetahuan secara akademis dan diperkuat oleh data-data lapangan sehingga dapat menghasilkan skala kebijakan yang berbasis kerakyatan secara umum dan ekologi secara khusus.
Kebijakan yang dapat dilakukan adalah kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkenaan dengan upaya pendayagunaan sumber daya alam dengan tetap mempertahankan aspek-aspek pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar kesejahteraan hidup manusia dunia akhirat yang layak, cukup sandang, pangan, papan, pendidikan bagi anak-anaknya, kesehatan yang baik, lapangan kerja yang diperlukan, keamanan dan kebebasan berpolitik, kebebasan dari ketakutan dan tindak kekerasan, dan kebebasan untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga negara. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang diperlukan.
Implementasi pembangunan berwawasan lingkungan adalah dengan reboisasi, menanam seribu pohon dan gerakan bersih lingkungan tampaknya mengalami kendala yang berarti. Artinya, tidak seimbangnya antara yang ditanam dan yang dieksploitasi menjadi salah satu penyebabnya. Peraturan perudang-udangan pun tidak mampu mencegah kerusakan lingkungan ini. Misalnya, UU No. 4 Tahun 1984 yang telah diratifikasi dengan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem pun tidak mampu menangkap cukong kayu kelas kakap. UU ini hanya mampu menangkap dan mengadili pekerja dan mandor kecil pembalakan liar.
Sedangkan Maftuchah Yusuf (2000), mengemukakan empat hal pokok dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pertama, konservasi untuk kelangsungan hidup bio-fisik. Kedua, perdamaian dan keadilan (pemerataan) untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam hidup bersama. Ketiga, pembangunan ekonomi yang tepat, yang memperhitungkan keharusan konservasi bagi kelangsungan hidup bio-fisik dan harus adanya perdamaian dan pemerataan (keadilan) dalam melaksanakan hidup bersama. Keempat, demokrasi yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk turut berpartisipasi dalam melaksanakan kekuasaan, kebijaksanaan dan pengambilan keputusan dalam meningkatkan mutu kehidupan bangsa.
Jika hal-hal tersebut di atas tidak segera ditindaklanjuti dan dilaksanakan dengan segera dengan menangkap, mengadili dan menghukum seberat-beratnya pembalak liar maka tidak lama lagi bumi akan musnah. Kemusnahan bumi juga berarti kematian bagi penduduk bumi termasuk di dalamnya manusia. (Sumber: Surya, 22 Maret 2008).
(Sumber : Benni Setiawan, peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera)

Minggu, 08 Februari 2009

Apa itu Active Learning ?

Oleh : Singgih Prihadi

A. Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning Strategy)
Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Disamping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu.
Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan. Thorndike (Bimo Wagito, 1997) mengemukakan 3 hukum belajar, yaitu :
1. law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons.
2. law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancer.
3. law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang.
Active learning (belajar aktif) pada dasarnya berusaha untuk memperkuat dan memperlancar stimulus dan respons anak didik dalam pembelajaran, sehingga proses pembelajaran menjadi hal yang menyenangkan, tidak menjadi hal yang membosankan bagi mereka. Dengan memberikan strategi active learning (belajar aktif) pada anak didik dapat membantu ingatan mereka, sehingga mereka dapat dihantarkan kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang diperhatikan pada pembelajaran konvensional. Dalam metode active learning (belajar aktif) setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi pelajaran yang baru disediakan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada. Agar murid dapat belajar secara aktif guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. (Mulyasa, 2004:241).
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam menerapkan active learning (belajar aktif) dalam pembelajaran di sekolah. Mel Silberman (2001) mengemukakan 101 bentuk metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran aktif. Kesemuanya dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sesuai dengan jenis materi dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai oleh anak. Metode tersebut antara lain Trading Place (tempat-tempat perdagangan), Who is in the Class?(siapa di kelas), Group Resume (resume kelompok), prediction (prediksi), TV Komersial, the company you keep (teman yang anda jaga), Question Student Have (Pertanyaan Peserta Didik), reconnecting (menghubungkan kembali), Turnamen Belajar, Belajar ala Jigsaw dan lain sebagainya.

MENGENAL MODEL BELAJAR KOOPERATIF

Oleh : Singgih Prihadi (hasil sharing dng Bp. Sugiyanto/ PD II FKIP UNS)


1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (Cooperativ learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
2. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
Manusia memiliki derajat potensi, latar belakang histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, manusia dapat saling asah, asih, dan asuh (saling mencrdaskan). Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih,dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (Learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga darisesama siswa.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
3. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu adalah (1) saling ketergantungan positif; (2)interaksi tatap muka;(3) akuntabilitas individual, dan (4) ketrampilan untuk menjalin hubungan antarpribadi atau ketrampilan sosial yang secara sengaja diajarkan. Seperti yang dinyatakan Abdurrahman & Bintoro (2000:78-79)
Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan susasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan dapat dicapai melalui: a)saling ketergantungan mencapai tujuan (b)saling ketergantungan menyelesaikan tugas (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d)saling ketergantungan peran, (e) saling ketergantungan hadiah;
Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialaog tidak hanya dilakukan dengan guru. Interaksi semacam itu sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
Akuntabilitas individual
Pembelajatran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.
Ketrampilan menjalin hubungan antar pribadi
Ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani memperthankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga dari sesama siswa.
4. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Tradisional
Dalam pembelajaran tradisional dikenal pula belajar kelompok, meskipun demikian, ada sejumlah esensisal anatara kelompok belajar kooperatif denagn kelompok belajar tradisional. Perhatikan tabel berikut:
Kelompok Belajar Kooperatif
Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungka diri pada kelompok
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok. Kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnnya hanya ‘enak-enak saja’di atas keberhasilan temannaya yang dianggap ‘pemborong’
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memeberikan bantuan.
Kelompok belajar biasanya homogen
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing
Ketrampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan
Ketrampilan sosial sering tidak diajarkan secara langsung
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung,guru terus melakukan pemantaun melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung
Guru memeperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas

5. Keuntungan Penggunaan Pembelajaran Kooperatif
Ada banayak alasan mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan.
Berikut beberapa keuntungannya :
a. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial
b. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan
c. memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial
d. memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen
e. menghilangkan sifat meementingkan diri sendiri atau egois
f. membangun persahabatan yang dapat berlanjut hinggga masa dewasa
g. berbagai ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhka dapat diajarkan dan dipraktekkan
h. meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia
i. meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif
j. meningkatkan kesediaan menggunkan ide orang lain yang dirasakan lebih baik
k. meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamain, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas
6. Beberapa Teknik Pembelajaran Kooperatif
Berikut ini disajikan empat teknik dalam pembelajaran kooperatif
Metode STAD (student Achievement Divisions)
Metode STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawan dari universitas John Hopkins. Metode ini dipandang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. Para guru menggunakan metode STAD untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal maupun tertulis.
Langkahnya:
1) Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompom atau tim, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap Tim memiliki anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuan (tinggi,sedang,rendah).
2) Tiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anaggota tim.
3) Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu guru mengevaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.
4) Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar, dan kepada siswa secara individu atau tim yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan. Kadang-kadang beberapa atau semua tim memperoleh pengharagaan jika mampu meraih suatu kriteria atau standar tertentu.

Metode Jigsaw
Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawan dari Univertas Texas;dan kemudaian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawan. Melalui metode Jingsaw.
Langkahnya:
1) Kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri 5 atau 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen.
2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggungb jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam itu disebut’kelompok pakar’(expert group).
4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar .
5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam ‘‘home teams’’, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw vrsi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Inividu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru
Metode GI (group Investigation)
Dasar-dasar metode GI dirancang oleh Herbert Thelen, selanjutnya diperluas dan diperbaiki oleh Sharn dan kawan-kawan dari universitas Tel Aviv. Metode GI sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Dibandingkan dengan metode STAD dan jigsaw, metode GI melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut siswa untuk kemampuan yang baik daalm berkomunikasi maupun ketrampilan proses memiliki kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatau laporan di depan kelas secara keseluruhan . Deskripsi mengenai langkah-langkah metode GI adalah sebagai berikut :
1) Seleksi Topik
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposissi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
2) Merencanakan Kerja sama
Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas
3) Implementasi
Para siswa melaksanaakn rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan
4) Analisis dan Sintesis
Para siswa menganalisis dan mensistensikan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas
5) Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai prespektif yang luas mengenai topik tersebut . Presentasi kelompok dikoordinasikan guru.
6) Evaluasi selanjutnya
Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompk terhadap pekerjaan kelas sebagai suatau keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa scara individual atau kelompok atau keduanya.
Metode Struktural
Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kgan dan kawan-kawan. Mekipun memilki banyak kesamaan dengan metode lainnya, metode structural menekankan pada struktur-struktur khusus uyang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interkasi siswa. Berbagai struktur tersebut dikembangkan oleh Kagan dengan maksud menjadi altenatif dari berbagai struktur kelas yang lebih tradisional, seperti metode resitasi, yang ditandai dengan pengajuan pertanyaan oleh guru kepada seluruh siswa dalam kelas dan para siswa memberikan jawaban setelah lebih dahulu mengangkat tangan dan ditunjuk oleh guru. Struktur-struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja sama saling bergantung dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuik meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur tujuannya untuk mengajarkan ketrampilan sosial. Think Pair-Share dan Numberead Head adaalah struktur yangdapat digunakan untuk mningkatkan penguasaan akademik, sedangkan structure active listening dan Time Token adalah struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan ketrampilan sosial

Jumat, 06 Februari 2009

MENGENAL MODEL QUANTUM TEACHING

Oleh : Singgih Prihadi
(Disampaikan dalam BINTEKS guru SD se-Jateng di LPMP Jateng,Srondol, Semarang)
Sumber gambar : www.mertoyudan.org

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalam pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dan lain sebagainya. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.
Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh pelbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan pembelajaran kuantum (quantum learning).

1. Latar Belakang Kemunculan
Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982 DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri didirikan atau dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang memusatkan perhatian pada hal-ihwal pembelajaran guna pengembanga potensi diri manusia.
Pada tahap awal perkembangannya, pembelajaran kuantum terutama dimaksudkan untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karier para remaja di rumah atau ruang-ruang rumah; tidak dimaksudkan sebagai metode dan strategi pembelajaran untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi di sekolah atau ruang-ruang kelas. Lambat laun, orang tua para remaja juga meminta kepada DePorter untuk mengadakan program program pembelajaran kuantum bagi mereka.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
a. • Teori otak kanan/kiri
b. • Teori otak triune (3 in 1)
c. • Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
d. • Teori kecerdasan ganda
e. • Pendidikan holistik (menyeluruh)
f. • Belajar berdasarkan pengalaman
g. • Belajar dengan simbol
h. • Simulasi/permainan

2. Karakteristik Umum
Pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut :
a. Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai. Oleh karena itu, pandangan tentang pembelajaran, belajar, dan pembelajar diturunkan, ditransformasikan, dan dikembangkan dari berbagai teori psikologi kognitif; bukan teori fisika kuantum. Dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak berkaitan erat dengan fisika kuantum – kecuali analogi beberapa konsep kuantum. Hal ini membuatnya lebih bersifat kognitif daripada fisis.
b. Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis. Manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatiannya. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi, dan sebagainya dari pembelajar diyakini dapat berkembang secara maksimal atau optimal. Hadiah dan hukuman dipandang tidak ada karena semua usaha yang dilakukan manusia patut dihargai. Kesalahan dipandang sebagai gejala manusiawi. Ini semua menunjukkan bahwa keseluruhan yang ada pada manusia dilihat dalam perspektif humanistis.
c. Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis. Karena itu, menurut hemat penulis, nuansa konstruktivisme dalam pembelajaran kuantum relatif kuat. Malah dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum merupakan salah satu cerminan filsafat konstruktivisme kognitif, bukan konstruktivisme sosial..
d. Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran. Atau lebih tepat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak memisahkan dan tidak membedakan antara res cogitans dan res extenza, antara apa yang di dalam dan apa yang di luar.
e. Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna. Dapat dikatakan bahwa interaksi telah menjadi kata kunci dan konsep sentral dalam pembelajaran kuantum. Karena itu, pembelajaran kuantum memberikan tekanan pada pentingnya interaksi, frekuensi dan akumulasi interaksi yang bermutu dan bermakna.
f.Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Di sini pemercepatan pembelajaran diandaikan sebagai lompatan kuantum. Pendeknya, menurut pembelajaran kuantum, proses pembelajaran harus berlangsung cepat dengan keberhasilan tinggi. Untuk itu, segala hambatan dan halangan yang dapat melambatkan proses pembelajaran harus disingkirkan, dihilangkan, atau dieliminasi.
g. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat. Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan, sedang keartifisialan dan kepura-puraan menimbulkan suasana tegang, kaku, dan membosankan.
h. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak bermakna dan tidak bermutu membuahkan kegagalan, dalam arti tujuan pembelajaran tidak tercapai. Sebab itu, segala upaya yang memungkinkan terwujudnya kebermaknaan dan kebermutuan pembelajaran harus dilakukan oleh pengajar atau fasilitator. Dalam hubungan inilah perlu dihadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman pembelajar perlu diakomodasi secara memadai. Pengalaman yang asing bagi pembelajar tidak perlu dihadirkan karena hal ini hanya membuahkan kehampaan proses pembelajaran. Untuk itu, dapat dilakukan upaya membawa dunia pembelajar ke dalam dunia pengajar pada satu pihak dan pada pihak lain mengantarkan dunia pengajar ke dalam dunia pembelajar. Hal ini perlu dilakukan secara seimbang.
i. Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Isi pembelajaran meliputi penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar-untuk-belajar, dan keterampilan hidup. Konteks dan isi ini tidak terpisahkan, saling mendukung, bagaikan sebuah orkestra yang memainkan simfoni. Pemisahan keduanya hanya akan membuahkan kegagalan pembelajaran.
j.Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal atau material. Ketiganya harus diperhatikan, diperlakukan, dan dikelola secara seimbang dan relatif sama dalam proses pembelajaran; tidak bisa hanya salah satu di antaranya. Dikatakan demikian karena pembelajaran yang berhasil bukan hanya terbentuknya keterampilan akademis dan prestasi fisikal pembelajar, namun lebih penting lagi adalah terbentuknya keterampilan hidup pembelajar.
k. Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. Tanpa nilai dan keyakinan tertentu, proses pembelajaran kurang bermakna. Untuk itu, pembelajar harus memiliki nilai dan keyakinan tertentu yang positif dalam proses pembelajaran. Di samping itu, proses pembelajaran hendaknya menanamkan nilai dan keyakinan positif dalam diri pembelajar. Nilai dan keyakinan negatif akan membuahkan kegagalan proses pembelajaran. Misalnya, pembelajar perlu memiliki keyakinan bahwa kesalahan atau kegagalan merupakan tanda telah belajar; kesalahan atau kegagalan bukan tanda bodoh atau akhir segalanya.
l. Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Keberagaman dan kebebasan dapat dikatakan sebagai kata kunci selain interaksi. Karena itu, dalam pembelajaran kuantum berkembang ucapan: Selamat datang keberagaman dan kebebasan, selamat tinggal keseragaman dan ketertiban!. Di sinilah perlunya diakui keragaman gaya belajar siswa atau pembelajar, dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran. Pada sisi lain perlu disingkirkan penyeragaman gaya belajar pembelajar, aktivitas pembelajaran di kelas, dan penggunaan kiat dan metode pembelajaran.
m. Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih optimal.
Selain memiliki karakteristik umum dan prinsip-prinsip utama seperti dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki pandangan tertentu tentang pembelajaran dan pembelajar. Beberapa pandangan mengenai pembelajaran dan pembelajar yang dimaksud dapat dikemukakan secara ringkas berikut :
1. Pembelajaran berlangsung secara aktif karena pembelajar itu aktif dan kreatif. Bukti keaktifan dan kekreatifan itu dapat ditemukan dalam peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri pembelajar. Pembelajaran pasif mengingkari kenyataan bahwa pembelajar itu aktif dan kreatif, mengingkari peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri.
2. Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila didasarkan pada karakteristik gaya belajar pembelajar sehingga penting sekali pemahaman atas gaya belajar pembelajar. Setidak-tidaknya ada tiga gaya belajar yang harus diperhitungkan dalam proses pembelajaran, yaitu gaya auditoris, gaya visual, dan gaya kinestetis.
3. Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta atau terdapat suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga kenyamanan, kesenangan, kerileksan, dan kegairahan dalam pembelajaran perlu diciptakan dan dipelihara. Pembelajar dapat mencapai hasil optimal bila berada dalam suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan. Untuk itu, baik lingkungan fisikal, lingkungan mental, dan suasana harus dirancang sedemikian rupa agar membangkitkan kesan nyaman, rileks, menyenangkan, sehat, dan menggairahkan.
4. Pembelajaran melibatkan lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau potensi diri pembelajar secara serempak. Oleh karena itu, penciptaan dan pemeliharaan lingkungan yang tepat sangat penting bagi tercapainya proses pembelajaran yang efektif dan optimal. Dalam konteks inilah perlu dipelihara suasana positif, aman, suportif, santai, dan menyenangkan; lingkungan belajar yang nyaman, membangkitkan semangat, dan bernuansa musikal; dan lingkungan fisik yang partisipatif, saling menolong, mengandung permainan, dan sejenisnya.
5. Pembelajaran terutama pengajaran membutuhkan keserasian konteks dan isi. Segala konteks pembelajaran perlu dikembangkan secara serasi dengan isi pembelajaran. Untuk itulah harus diciptakan dan dipelihara suasana yang memberdayakan atau menggairahkan, landasan yang kukuh, lingkungan fisikal-mental yang mendukung, dan rancangan pembelajaran yang dinamis. Selain itu, perlu juga diciptakan dan dipelihara penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar yang merangsang untuk belajar, dan keterampilan hidup yang suportif.
6. Pembelajaran berlangsung optimal bilamana ada keragaman dan kebebasan karena pada dasarnya pembelajar amat beragam dan memerlukan kebebasan. Karena itu, keragaman dan kebebasan perlu diakui, dihargai, dan diakomodasi dalam proses pembelajaran. Keseragaman dan ketertiban (dalam arti kekakuan) harus dihindari karena mereduksi dan menyederhanakan potensi dan karakteristik pembelajar. Potensi dan karakteristik pembelajar sangat beragam yang memerlukan suasana bebas untuk aktualisasi atau artikulasi.

Selasa, 03 Februari 2009

BAGAIMANA GURU MENERAPKAN TEORI PEMROSESAN INFORMASI ?

Oleh : Singgih Prihadi
A. Pendahuluan
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik. Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak (Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.

B. Pembahasan
Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang. Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan. Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran, (Slavin, 2000: 176).
Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi. Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak faktor lain. Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. Memori jangka pendek adalah sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Satu cara untuk menyimpan informasi dalam memori jangka pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali. Guru mengalokasikan waktu untuk pengulangan selama mengajar. Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan informasi untuk periode panjang.
Tinjauan Pendekatan Pemrosesan Informasi
Teori kognisi menjelaskan tentang bagaimana proses mengetahui terjadi pada manusia. Ada beberapa model yang digunakan untuk menjelaskan proses mengetahui pada manusia. Model pemrosesan informasi membahas tentang peran operasi-operasi kognitif dalam pengolahan informasi (Hetherington & Parke, 1986). Dalam model ini manusia dipandang sebagai sistem yang memodifikasi informasi sendiri secara aktif dan terorganisir. Perkembangan seseorang dalam pemrosesan informasi berkaitan dengan perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam aspek ini serta pengaruh-pengaruh genetis dan lingkungan. Inti dari perkembangan dalam pemrosesan informasi adalah terbentuknya sistem pada diri seseorang yang semakin efisien untuk mengontrol aliran informasi (Miller, 1993).
Saat ini ada dua model yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi, yaitu model penyimpanan (store/structure model) dan model tingkat pemrosesan (level of processing). Model penyimpanan dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin (dalam Miller, 1993), sedangkan model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart (dalam Miller, 1993). Dalam model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, kognisi manusia dikonsepkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga bagian, yaitu masukan (input), proses dan keluaran (output). Informasi dari dunia sekitar merupakan masukan bagi sistem. Stimulasi dari dunia sekitar ini memasuki reseptor memori dalam bentuk penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya. Selanjutnya, input diproses dalam otak. Otak mengolah dan mentransformasikan informasi dalam berbagai cara. Proses ini meliputi pengkodean ke dalam bentuk-bentuk simbolis, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya, menyimpan dalam memori, dan mengambilnya bila diperlukan. Akhir dari proses ini adalah keluaran, yaitu perilaku manusia, seperti berbicara, menulis, interaksi sosial, dan sebagainya (Vasta, dkk., 1992).
Secara rinci, Pressley, (1990) memaparkan pemrosesan informasi sebagai berikut : Pertama-tama, manusia menangkap informasi dari lingkungan melalui organ-organ sensorisnya (yaitu mata, telinga, hidung, dan sebagainya). Beberapa informasi disaring (diabaikan) pada tingkat sensoris, kemudian sisanya dimasukkan ke dalam ingatan jangka pendek (kesadaran). Ingatan jangka pendek mempunyai kapasitas pemeliharaan informasi yang terbatas sehingga kandungannya harus diproses sedemikian rupa (misalnya dengan pengulangan atau pelatihan), jika tidak akan lenyap dengan cepat. Bila diproses, informasi dari ingatan jangka pendek (short-term memory) dapat ditransfer ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang (Long-Term Memory) merupakan hal penting dalam proses belajar. Menurut Anderson (dalam Pressley, 1990), tempat penyimpanan jangka panjang mengandung informasi faktual (disebut pengetahuan deklaratif) dan informasi mengenai bagaimana cara mengerjakan sesuatu (disebut pengetahuan prosedural).
Menurut pandangan model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, sejak kecil seorang anak mengembangkan fungsi kontrol dalam mengolah informasi dari lingkungannya. Menurut Hetherington & Parke (1986), pada usia antara 3 hingga 12 tahun, fungsi kontrol seseorang menunjukkan perkembangan yang pesat. Fungsi tersebut mencakup pengaturan informasi yang diperlukan, termasuk memilih strategi yang digunakan dan memonitor keberhasilan penggunaan strategi tersebut. Dalam pandangan model ini, anak merupakan pengatur yang aktif dari fungsi-fungsi kognitifnya sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi suatu masalah, anak memilih masalah yang akan diselesaikannya, memutuskan besar usaha yang akan dilakukannya, memilih strategi yang akan digunakannya, menghindari hal-hal yang mengganggu usahanya, serta mengevaluasi kualitas hasil usahanya.
Model pemrosesan informasi berasumsi bahwa anak-anak mempunyai kemampuan yang lebih terbatas dan berbeda dibanding orang dewasa. Anak-anak tidak dapat menyerap banyak informasi, kurang sistematis dalam hal informasi apa yang diserap, tidak mempunyai banyak strategi untuk mengatasi masalah, tidak mempunyai banyak pengetahuan mengenai dunia yang diperlukan untuk memahami masalah, dan kurang mampu memonitor kerja proses kognitifnya (Hetherington & Parke, 1986). Mengingat perkembangan anak yang optimal adalah tujuan para psikolog perkembangan, maka sangat relevan jika individu-individu yang berkecimpung di bidang ini melakukan penelitian yang tujuannya bermuara pada meningkatkan kemampuan pemrosesan informasi.
Model kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi adalah model tingkat pemrosesan (level of process-ing). Model tingkat pemrosesan yang dikembangkan oleh Craik dan Lockhart ini memiliki prinsip dasar bahwa informasi yang diterima diolah dengan tingkatan yang berbeda. Semakin dalam pengolahan yang dilakukan, semakin baik informasi tersebut diingat. Pada tingkat pengolahan pertama akan diperoleh persepsi, yang merupakan kesadaran seketika akan lingkungan. Pada tingkat pengolahan berikutnya akan diperoleh gambaran struktural dari informasi. Pada tingkat pengolahan terdalam akan diperoleh makna (meaning) dari informasi yang diterima (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).
Menurut model tingkat pemrosesan, berbagai stimulus informasi diproses dalam berbagai tingkat kedalaman secara bersamaan bergantung kepada karakternya. Semakin dalam suatu informasi diolah, maka informasi tersebut akan semakin lama diingat. Sebagai contoh, informasi yang mempunyai imaji visual yang kuat atau banyak berasosiasi dengan pengetahuan yang telah ada akan diproses secara lebih dalam. Demikian juga informasi yang sedang diamati akan lebih dalam diproses daripada stimuli atau kejadian lain di luar pengamatan. Dengan kata lain, manusia akan lebih mengingat hal-hal yang mempunyai arti bagi dirinya atau hal-hal yang menjadi perhatiannya karena hal-hal tersebut diproses secara lebih mendalam daripada stimuli yang tidak mempunyai arti atau tidak menjadi perhatiannya (Craik & Lockhart, 2002).
Pengulangan (rehearsal) - yang memegang peranan penting dalam pendekatan model penyimpanan - juga dianggap penting dalam pendekatan model tingkat pemrosesan. Namun, menurut pandangan model tingkat pemrosesan, hanya mengulang-ngulang saja tidak cukup untuk mengingat. Untuk memperoleh tingkatan yang lebih dalam, aktivitas pengulangan haruslah bersifat elaboratif. Dalam hal ini, pengulangan harus merupakan sebuah proses pemberian makna (meaning) dari informasi yang masuk. Istilah elaborasi sendiri mengacu kepada sejauh mana informasi yang masuk diolah sehingga dapat diikat atau diintegrasikan dengan informasi yang telah ada dalam ingatan (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).
Telah disebutkan bahwa prinsip dasar model tingkat pemrosesan informasi adalah semakin besar upaya pemrosesan informasi selama belajar, semakin dalam informasi tersebut akan disimpan dan diingat. Prinsip ini telah banyak diaplikasikan dalam penyusunan setting pengajaran verbal, seperti mengingat daftar kata, juga pengajaran membaca dan bahasa (Cermak & Craik, dalam Craik & Lockhart, 2002).
Manfaat teori pemrosesan informasi antara lain :
1. membantu terjadinya proses pembelajaran sehingga individu mampu beradaptasi pada lingkungan yang selalu berubah
2. menjadikan strategi pembelajaran dengan menggunakan cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol
3. kapabilitas belajar dapat disajikan secara lengkap
4. prinsip perbedaan individual terlayani
Hambatan teori pemrosesan informasi antara lain :
1. tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal
2. proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung
3. tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan
4. kemampuan otak tiap individu tidak sama

C. Kesimpulan

Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai pemrosesan informasi dalam hal ini di dunia pendidikan, maka diharapkan di masa yang sekarang dan yang akan datang ada perubahan yang berarti dalam pendidikan negara kita, antara lain (1) Pendidikan yang bersifat open access sehingga siapa saja dapat menikmati proses pendidikan dengan beragam media teknologi informasi yang ada, (2) Terbentuknya kerjasama yang sinergis antar lembaga penyelenggara pendidikan, lembaga penyelenggara industri media untuk meningkatkan mutu pendidikan, (3) Tersedianya akses bersama terhadap sumber informasi pengetahuan sehingga terwujud sharing knowledge, dan (4) Terwujudnya masyarakat “ramah media”.

D. Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.). W.H. Freeman & Co., New York.
Putra, Yovan. 2008. Memori dan Pembelajaran Efektif. Bandung : Yrama Widya

PENGEMBANGAN MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)

Oleh : Singgih Prihadi
A. PENDAHULUAN
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa senang dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa.
Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.
B. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Salah satu dari sekian banyak teori belajar adalah teori konstruktivistik. Menurut teori ini, seorang guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya (Baharuddin dan Esa Nur, 2008).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (von Glasersfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
1. Proses Belajar Konstruktivistik
Pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) seseorang. Orang membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan lingkungannya. Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek. Siswa harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Siswa membentuk skema kognitif, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi (bila konsepsi itu berlaku) pada saat berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang akan membentuk pengetahuan.
Belajar akan lebih bermakna bila siswa aktif dalam proses belajarnya. Proses itu bercirikan sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.
b. Konstruksi adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih pada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya, terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan materi yang dipelajari.
Dalam proses belajar konstruktivistik, pengetahuan dibentuk secara individual maupun sosial, dan oleh karena itu kelompok belajar dapat dikembangkan. Von Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya dengan persoalan itu. Sedangkan menurut Driver dkk (1994), konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang terdidik.
Dengan demikian, Konstruktivisme memahami hakekat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau memciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit kemudian dikonstruksi dan diberi makna melalui pengalaman.
2. Proses Mengajar Konstruktivistik
Kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan pengajar/pendidik dapat berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa.
Mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von Glasersfeld, 1989). Pada prinsip konstruktivisme, pengajar/pendidik berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
c. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif dan menyediakan kesempatan yang paling mendukung proses belajar siswa. Pengajar/pendidik harus menyemangati siswa dan perlu menyediakan pengalaman konflik.
d. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Pengajar/pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan, dan juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
3. Konstruktivistik Dalam Praktek Pembelajaran
Belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Siswa harus memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengungkapkan pertanyaan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa karakteristik dalam kegiatan pembelajaran yang perlu diperhatikan guru, yaitu:
a. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
b. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan manusia
c. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal
d. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas
e. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Upaya untuk mengimplementasikan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran, diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat bekerjasama dan menemukan ide-ide dengan baik. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru:
a. Guru harus menguasai beberapa macam metode mengajar yang inovatif serta menggunakan metode tersebut pada waktu mengajar. Variasi metode mengajar mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa dan mudah diterima, sehingga kelas menjadi hidup dan interaktif. Metode pembelajaran yang selalu sama (monoton) setiap mengajar tanpa adanya variasi akan membuat siswa lebih cepat merasa bosan dan jenuh.
b. Guru harus bisa menumbuhkan motivasi belajar siswa. Hal ini sangat berperan pada kemajuan dan perkembangan siswa. Bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran diharapkan akan meningkatkan kegiatan belajar, sehingga siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat.
c. Guru harus mengajar menggunakan media pembelajaran. Belajar dengan media akan lebih memudahkan siswa menyerap, memahami dan menguasai materi yang disampaikan oleh gurunya. Karena dengan media siswa akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang substansi materi yang dipelajarinya.
d. Guru harus mempunyai referensi dan informasi yang lengkap tentang materi yang akan dipelajari, karena kalau hanya dengan bekal informasi yang terbatas, maka ada kemungkinan guru mengalami kesulitan.
Untuk menciptakan kelas menjadi lingkungan yang konstruktivistik, Guru perlu melakukan perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan. Knuth dan Kunningham (1993), menyatakan ada 7 (tujuh) kondisi yang dapat diciptakan oleh Guru dalam mewujudkan kelas konstruktivistik:
a. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari pengalaman pada saat proses pembentukan pengetahuan berlangsung. Guru perlu menumbuhkan sikap bertanggungjawab pada diri siswa dengan mendorong mereka mengembangkan topik dan subtopik yang sesuai dengan minat mereka masing-masing.
b. Guru melatih siswa berpengalaman dan membiasakan mereka menghargai kondisi dari perspektif yang berbeda, karena keadaan yang nyata jarang sekali memiliki perspektif tunggal.
c. Menghubungkan belajar dengan konteks yang realistis dan relevan. Guru harus dapat membawa siswa untuk menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata yang dimiliki oleh siswa.
d. Melatih siswa menghargai pendapat dan temuannya sendiri. Untuk itu, guru mendorong siswa untuk berani menetapkan apa yang akan dipelajari, isu apa yang menarik, cara apa yang akan ditempuh, dan bagaimana mereka merumuskan tujuan yang hendak dicapai.
e. Menciptakan suasana belajar yang berada di dalam suasana interaksi sosial.
f. Mendorong siswa untuk berani menggunakan bentuk penyajian yang berbeda.
g. Mendorong siswa untuk senantiasa menyadari proses terbentuknya pemahaman dan pengetahuan dalam diri mereka.
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melaksanakan pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan bahasanya sendiri.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
d. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
e. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
f. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivistik lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, dan bukan kepatuhan siswa untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan ataupun diterangkan oleh guru.


C. MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)
Model ini saya kembangkan dengan mendasarkan dari teori konstruktivisme dan teori sibernetik. Model ini dinamai dengan model Av-M (Audiovisual Motivation) karena dalam proses pembelajarannya menekankan pada motivasi siswa untuk selalu tertarik dan konsentrasi dengan materi pelajaran yang dipelajari di kelas. Motivasi di sini yang dimaksud adalah motivasi eksternal yang sengaja diciptakan untuk merangsang siswa agar tidak bosan selama pembelajaran berjalan. Bentuk motivasi eksternal ini diawali dengan pemutaran video rekaman, potongan film, game ataupun short contemplation. Model ini mempunyai langkah-langkah yang sederhana yaitu :
a. Orientasi-Motivasi
b. Perenungan Pendek
c. Penggalian ide
d. Penyajian Konsep
e. Penerapan Konsep
f. Rangkuman
g. Penilaian
h. Refleksi
Untuk lebih jelasnya dijelaskan satu per satu berikut ini :
a. Orientasi-Motivasi
Setiap awal pembelajaran guru harus menyiapkan video rekaman/ potongan film/ game/ short contemplation. Jadi mulai tahap ini harus tersedia perangkat multimedia sebagai pendukungnya. Tidak terlepas pula kemampuan atau keahlian guru dalam mengoperasikannya. Pada awal pembelajaran siswa diputarkan video rekaman/ potongan film/ game yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Dalam pemutaran video/ film hendaknya didukung pula dengan kualitas suara speaker. Guru yang kreatif pasti mampu untuk mendapatkan bahan dalam pelaksanaan orientasi-motivasi ini. Jadi pada apersepsi, siswa sudah tertarik untuk mengikuti pembelajaran karena dengan sajian awal yang menarik pula.
b. Perenungan Pendek
Setelah siswa mengikuti orientasi-motivasi dengan melihat pemutaran film/ rekaman video atau game, siswa dengan bimbingan guru diajak untuk melakukan perenungan pendek. Pada perenungan ini, guru boleh menggunakan suara saja (musik natural song, instrumentalia) atau dengan audiovisual (musik dan gambar gerak/ gambar diam). Tujuan perenungan pendek ini adalah untuk merangsang kepekaan sosial siswa.
c. Penggalian ide
Akhir dari perenungan pendek, dilakukan penggalian ide. Di sini tugas guru adalah merangsang siswa untuk berargumen mengenai film/ rekaman yang baru saja dilihat. Jadi hasil dari perenungan tadi diungkapkan secara lisan dengan terbuka. Diusahakan suasana kelas yang ramah, santai, dan menyenangkan agar sebagian besar siswa dapat mengemukakan pendapatnya dengan leluasa.
d. Penyajian Konsep
Argumen-argumen dari siswa harus ditanggapi guru. Pada tahap ini, setelah guru menanggapi argumen-argumen siswa, guru menjelaskan konsep-konsep materi untuk meluruskan persepsi siswa-siswa. Dalam penyajian konsep, guru harus betul-betul menguasai materi sehingga tugas guru membangun pengetahuan akan tercapai. Pada tahap ini guru membuat peta konsep dengan mengikutkan peran serta siswa untuk menentukan urutan peta konsep.
e. Penerapan Konsep
Guru harus mampu menggerakkan siswa untuk menerapkan konsep yang dibangun, minimal mengetahui manfaat dari pengetahuan yang dibangun bersama melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat diterapkan di lingkungan sekolah dengan bimbingan guru maupun di lingkungan rumah secara mandiri dalam bentuk penugasan. Di kelas, guru membentuk kelompok diskusi yang heterogen dengan permasalahan antar kelompok yang berbeda sehingga dalam presentasi tidak membosankan.
f. Rangkuman
Membuat resume dari pengetahuan yang dibangun bersama siswa adalah wajib dalam model ini. Resume dapat diungkapkan secara lisan ataupun dalam bentuk hand-out.
g. Penilaian
Penilaian dalam model ini tidak jauh berbeda dengan model belajar lainnya. Dalam model ini dilakukan penilaian mandiri, kelompok dan keaktifan partisipasi di kelas.
h. Refleksi
Mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran dalam model ini harus dilakukan. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan sebagai dasar pertimbangan melakukan perbaikan tatap muka berikutnya. Refleksi dapat dilakukan dengan pengamatan, analisis hasil belajar ataupun dengan angket (biasanya khusus untuk angket digunakan sekali misalnya mingguan, bulanan atau triwulan)

PENGEMBANGAN MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)

PENGEMBANGAN MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)