Oleh : Singgih Prihadi
A. PENDAHULUAN
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa senang dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa.
Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.
B. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Salah satu dari sekian banyak teori belajar adalah teori konstruktivistik. Menurut teori ini, seorang guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya (Baharuddin dan Esa Nur, 2008).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (von Glasersfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
1. Proses Belajar Konstruktivistik
Pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) seseorang. Orang membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan lingkungannya. Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek. Siswa harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Siswa membentuk skema kognitif, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi (bila konsepsi itu berlaku) pada saat berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang akan membentuk pengetahuan.
Belajar akan lebih bermakna bila siswa aktif dalam proses belajarnya. Proses itu bercirikan sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.
b. Konstruksi adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih pada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya, terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan materi yang dipelajari.
Dalam proses belajar konstruktivistik, pengetahuan dibentuk secara individual maupun sosial, dan oleh karena itu kelompok belajar dapat dikembangkan. Von Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya dengan persoalan itu. Sedangkan menurut Driver dkk (1994), konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang terdidik.
Dengan demikian, Konstruktivisme memahami hakekat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau memciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit kemudian dikonstruksi dan diberi makna melalui pengalaman.
2. Proses Mengajar Konstruktivistik
Kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan pengajar/pendidik dapat berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa.
Mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von Glasersfeld, 1989). Pada prinsip konstruktivisme, pengajar/pendidik berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
c. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif dan menyediakan kesempatan yang paling mendukung proses belajar siswa. Pengajar/pendidik harus menyemangati siswa dan perlu menyediakan pengalaman konflik.
d. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Pengajar/pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan, dan juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
3. Konstruktivistik Dalam Praktek Pembelajaran
Belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Siswa harus memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengungkapkan pertanyaan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa karakteristik dalam kegiatan pembelajaran yang perlu diperhatikan guru, yaitu:
a. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
b. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan manusia
c. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal
d. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas
e. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Upaya untuk mengimplementasikan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran, diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat bekerjasama dan menemukan ide-ide dengan baik. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru:
a. Guru harus menguasai beberapa macam metode mengajar yang inovatif serta menggunakan metode tersebut pada waktu mengajar. Variasi metode mengajar mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa dan mudah diterima, sehingga kelas menjadi hidup dan interaktif. Metode pembelajaran yang selalu sama (monoton) setiap mengajar tanpa adanya variasi akan membuat siswa lebih cepat merasa bosan dan jenuh.
b. Guru harus bisa menumbuhkan motivasi belajar siswa. Hal ini sangat berperan pada kemajuan dan perkembangan siswa. Bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran diharapkan akan meningkatkan kegiatan belajar, sehingga siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat.
c. Guru harus mengajar menggunakan media pembelajaran. Belajar dengan media akan lebih memudahkan siswa menyerap, memahami dan menguasai materi yang disampaikan oleh gurunya. Karena dengan media siswa akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang substansi materi yang dipelajarinya.
d. Guru harus mempunyai referensi dan informasi yang lengkap tentang materi yang akan dipelajari, karena kalau hanya dengan bekal informasi yang terbatas, maka ada kemungkinan guru mengalami kesulitan.
Untuk menciptakan kelas menjadi lingkungan yang konstruktivistik, Guru perlu melakukan perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan. Knuth dan Kunningham (1993), menyatakan ada 7 (tujuh) kondisi yang dapat diciptakan oleh Guru dalam mewujudkan kelas konstruktivistik:
a. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari pengalaman pada saat proses pembentukan pengetahuan berlangsung. Guru perlu menumbuhkan sikap bertanggungjawab pada diri siswa dengan mendorong mereka mengembangkan topik dan subtopik yang sesuai dengan minat mereka masing-masing.
b. Guru melatih siswa berpengalaman dan membiasakan mereka menghargai kondisi dari perspektif yang berbeda, karena keadaan yang nyata jarang sekali memiliki perspektif tunggal.
c. Menghubungkan belajar dengan konteks yang realistis dan relevan. Guru harus dapat membawa siswa untuk menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata yang dimiliki oleh siswa.
d. Melatih siswa menghargai pendapat dan temuannya sendiri. Untuk itu, guru mendorong siswa untuk berani menetapkan apa yang akan dipelajari, isu apa yang menarik, cara apa yang akan ditempuh, dan bagaimana mereka merumuskan tujuan yang hendak dicapai.
e. Menciptakan suasana belajar yang berada di dalam suasana interaksi sosial.
f. Mendorong siswa untuk berani menggunakan bentuk penyajian yang berbeda.
g. Mendorong siswa untuk senantiasa menyadari proses terbentuknya pemahaman dan pengetahuan dalam diri mereka.
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melaksanakan pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan bahasanya sendiri.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
d. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
e. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
f. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivistik lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, dan bukan kepatuhan siswa untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan ataupun diterangkan oleh guru.
C. MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)
Model ini saya kembangkan dengan mendasarkan dari teori konstruktivisme dan teori sibernetik. Model ini dinamai dengan model Av-M (Audiovisual Motivation) karena dalam proses pembelajarannya menekankan pada motivasi siswa untuk selalu tertarik dan konsentrasi dengan materi pelajaran yang dipelajari di kelas. Motivasi di sini yang dimaksud adalah motivasi eksternal yang sengaja diciptakan untuk merangsang siswa agar tidak bosan selama pembelajaran berjalan. Bentuk motivasi eksternal ini diawali dengan pemutaran video rekaman, potongan film, game ataupun short contemplation. Model ini mempunyai langkah-langkah yang sederhana yaitu :
a. Orientasi-Motivasi
b. Perenungan Pendek
c. Penggalian ide
d. Penyajian Konsep
e. Penerapan Konsep
f. Rangkuman
g. Penilaian
h. Refleksi
Untuk lebih jelasnya dijelaskan satu per satu berikut ini :
a. Orientasi-Motivasi
Setiap awal pembelajaran guru harus menyiapkan video rekaman/ potongan film/ game/ short contemplation. Jadi mulai tahap ini harus tersedia perangkat multimedia sebagai pendukungnya. Tidak terlepas pula kemampuan atau keahlian guru dalam mengoperasikannya. Pada awal pembelajaran siswa diputarkan video rekaman/ potongan film/ game yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Dalam pemutaran video/ film hendaknya didukung pula dengan kualitas suara speaker. Guru yang kreatif pasti mampu untuk mendapatkan bahan dalam pelaksanaan orientasi-motivasi ini. Jadi pada apersepsi, siswa sudah tertarik untuk mengikuti pembelajaran karena dengan sajian awal yang menarik pula.
b. Perenungan Pendek
Setelah siswa mengikuti orientasi-motivasi dengan melihat pemutaran film/ rekaman video atau game, siswa dengan bimbingan guru diajak untuk melakukan perenungan pendek. Pada perenungan ini, guru boleh menggunakan suara saja (musik natural song, instrumentalia) atau dengan audiovisual (musik dan gambar gerak/ gambar diam). Tujuan perenungan pendek ini adalah untuk merangsang kepekaan sosial siswa.
c. Penggalian ide
Akhir dari perenungan pendek, dilakukan penggalian ide. Di sini tugas guru adalah merangsang siswa untuk berargumen mengenai film/ rekaman yang baru saja dilihat. Jadi hasil dari perenungan tadi diungkapkan secara lisan dengan terbuka. Diusahakan suasana kelas yang ramah, santai, dan menyenangkan agar sebagian besar siswa dapat mengemukakan pendapatnya dengan leluasa.
d. Penyajian Konsep
Argumen-argumen dari siswa harus ditanggapi guru. Pada tahap ini, setelah guru menanggapi argumen-argumen siswa, guru menjelaskan konsep-konsep materi untuk meluruskan persepsi siswa-siswa. Dalam penyajian konsep, guru harus betul-betul menguasai materi sehingga tugas guru membangun pengetahuan akan tercapai. Pada tahap ini guru membuat peta konsep dengan mengikutkan peran serta siswa untuk menentukan urutan peta konsep.
e. Penerapan Konsep
Guru harus mampu menggerakkan siswa untuk menerapkan konsep yang dibangun, minimal mengetahui manfaat dari pengetahuan yang dibangun bersama melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat diterapkan di lingkungan sekolah dengan bimbingan guru maupun di lingkungan rumah secara mandiri dalam bentuk penugasan. Di kelas, guru membentuk kelompok diskusi yang heterogen dengan permasalahan antar kelompok yang berbeda sehingga dalam presentasi tidak membosankan.
f. Rangkuman
Membuat resume dari pengetahuan yang dibangun bersama siswa adalah wajib dalam model ini. Resume dapat diungkapkan secara lisan ataupun dalam bentuk hand-out.
g. Penilaian
Penilaian dalam model ini tidak jauh berbeda dengan model belajar lainnya. Dalam model ini dilakukan penilaian mandiri, kelompok dan keaktifan partisipasi di kelas.
h. Refleksi
Mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran dalam model ini harus dilakukan. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan sebagai dasar pertimbangan melakukan perbaikan tatap muka berikutnya. Refleksi dapat dilakukan dengan pengamatan, analisis hasil belajar ataupun dengan angket (biasanya khusus untuk angket digunakan sekali misalnya mingguan, bulanan atau triwulan)